Sabtu, 16 Februari 2013

Makalah tentang Teologi Feminis


Bab 1
pendahuluan
1.1 teologi feminis
     Teologi feminis adalah gerakan teologi yang bersama-sama melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal keadilan sosial bagi perempuan. Teologi feminis berusaha untuk melihat kekayaan dan keterbatasan dari Alkitab dan literatur Kristen, serta berusaha untuk memberikan perubahan pemikiran, baik di Gereja maupun dalam institusi akademis. Ide pokok dalam teologi feminis adalah keberatan terhadap tradisi kekristenan tentang hubungan antara perempuan dengan keilahian. Teolog-teolog feminis berpendapat bahwa perempuan dapat menggambarkan Allah, baik secara penuh maupun terbatas, sama seperti Allah yang digambarkan melalui laki-laki.
A.Latar Belakang Teologi Femini
Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.
Efesus 5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ";menaikkan derajat kaum perempuan"; tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul ´Vindication of the Right of Woman´ yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku "The Feminine Mystique"; yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama ´National Organization for Woman´ (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya ´Equal Pay Right´ (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan ´Equal Right Act´ (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah ´Student for a Democratic Society´ (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok ´feminisme radikal´ dengan membentuk ´Women´s Liberation Workshop´ yang lebih dikenal dengan singkatan ´Women´s Lib.´ Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya ´Miss America Pegeant´ di Atlantic City yang mereka anggap sebagai ´pelecehan terhadap kaum wanita´ dan ´komersialisasi tubuh perempuan.´ Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
1.2 Wanita karir
A.Latar Belakang Wanita Karir
Ketika sosok wanita bekerja memasuki masa berumah tangga,segalanya jadi berbeda. Khusus bagi yang sedang berada di puncak karir,haruskah sesuatu yang telah dirintis sejak usia lajang dilepas begitu saja?Ah, keputusan yang sungguh sulit. Memang setiap orang punya pilihan danprinsip masing-masing untuk meraih kepuasan dalam karirnya. Ada yangmerasa masih banyak ambisi dan obsesi yang belum tercapai. Tetapi,haruskah juga keluarga menjadi prioritas kedua? Hal inilah yang kerap jadidilema dalam kehidupan pasangan suami-istri. Persoalannya tambah tidak sederhana ketika anak juga menuntut perhatian yang khusus dari sang ibu.Bagaimana agar segala keputusan yang diambil dapat menyenangkansemua pihak dalam keluargaPeran seorang wanita ketika memasuki jenjang perkawinan tampak menjadi begitu kompleks ketika berbagai kepentingan saling berbenturan.Saat seorang wanita dituntut menjadi ibu yang bertanggungjawab ataskeberadaan anak dan tetap utuhnya rumah tangga, disamping keinginanmeraih kemajuan dari balik dunia kerja, membuat banyak wanitaterperangkap pada dilema. Harus memilih salah satu - keluarga atau karir.

Bab 2
Pembahasan
2.1 teologi feminis
Pandangan Terhadap Alkitab
Kalau kita berbicara mengenai teologi seseorang atau sekelompok orang maka salah
satu pertanyaan yang penting dan perlu diajukan adalah bagaimana pandangan orang atau
kelompok orang tersebut terhadap Alkitab? Apakah Alkitab diterima sebagai firman Allah
yang berotoritas? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menunjukkan corak
teologi yang dianut seseorang atau sekelompok orang tersebut. Pandangan Fiorenza mengenai
Alkitab diungkapkan dalam kalimat berikut:
A feminist hermeneutics cannot trust or accept Bible and tradition simply as divine
revelation. Rather it must critically evaluate them as patriarchal articulations, since
even in the last century Sarah Grimké, Matilda Joslyn Gage, and Elizabeth Cady
Stanton had recognized that biblical texts are not the words of God but the words of
men.28
Selanjutnya ia mengatakan: “Feminist interpretation therefore begins with a hermeneutics of
suspicion that applies to both contemporary androcentric interpretations of the Bible and the
biblical texts themselves.”29 Sedangkan Ruether mengalimatkan demikian: “The Bible was
shaped by males in a patriarchal culture, so much of its revelatory experiences were
interpreted by men from a patriarchal perspective.”30 Secara ringkas yang ingin disampaikan
oleh kedua tokoh ini adalah, Alkitab tidak boleh diterima mentah-mentah sebagai firman Allah
karena banyak unsur manusianya (baca: pria) di dalamnya.
Jika ditanya mengenai inspirasi Alkitab maka para feminis akan segera menjawab
bahwa mereka percaya inspirasi. Tetapi jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa itu artinya
mereka masih berada di jalur iman Kristen yang ortodoks. Simak pernyataan Russell berikut:

inspiration means that everything we read is right.”31 Menurut Russell, inspirasi ilahi Alkitab
berarti bahwa Roh Allah memiliki kuasa untuk membuat kisah Alkitab berbicara kepada kita
dari iman menuju kepada iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah apabila komunitas iman
memahami Allah berbicara kepada mereka di dalam dan melalui berita Alkitab.32
Pandangan “miring” tersebut tidak aneh karena kelompok feminis yang menyebut diri
evangelikal pun memiliki keyakinan serupa:
. . . the conviction that the Spirit of God is the ultimate author of all Scripture. The
Christian church, therefore, has rightly understood the phrase “the inspiration of
Scripture” to indicate that in and through the words employed by the biblical writers
God has given his word to mankind.33
Menurut kelompok ini, Alkitab diinspirasikan oleh Allah dalam pengertian bahwa di dalam
dan melalui kata-kata yang digunakan oleh penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya.
Allah memakai manusia yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah
sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi
ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan oleh para
penulis Alkitab. Atau dengan kata lain, Alkitab bersifat falibel serta tunduk pada keterbatasan
manusia dalam menuangkan maksud Allah dalam kata-kata.
Hal serupa diungkapkan oleh Russell ketika ia berbicara tentang otoritas Alkitab.
Alkitab berotoritas dalam kehidupannya karena Alkitab memahami pengalamannya dan
berbicara kepadanya tentang makna dan tujuan kemanusiaannya di dalam Yesus Kristus.
Sehingga, meskipun Alkitab ditulis dari sudut pandang patriarkhal, dan juga terdapat
ketidakkonsistenan atau kontradiksi, tetap saja Alkitab berotoritas dalam kehidupannya karena
kisah Alkitab membawanya kepada satu visi tentang ciptaan baru.34 Kalau boleh saya
simpulkan, otoritas Alkitab menurut Russell adalah otoritas yang pragmatis, tidak penting
apakah Alkitab bisa salah atau tidak, yang penting baginya adalah Alkitab itu memiliki
kebergunaan dalam kehidupannya.
Bertitik tolak dari sini teolog feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki
pandangan yang konsisten tentang wanita. Hal ini terjadi karena Alkitab dibentuk oleh kaum
pria dari budaya patriarkhal sehingga banyak pengalaman wahyunya diinterpretasi dan ditulis
dari perspektif patriarkhal.35 Itu sebabnya mengapa Paulus kadang-kadang menempatkan
wanita dalam posisi lebih rendah daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi,
ketika kita membaca Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab
ditulis. Jadi, untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur
budaya ketika melakukan interpretasi.36
Metode Teologi
Dengan pandangan yang cukup negatif tentang Alkitab seperti yang diuraikan di atas,
timbul pertanyaan: berita positif apa yang terdapat dalam Alkitab bagi para feminis? Menurut
Russell, Alkitab adalah firman yang memerdekakan (liberating word). Hal ini jelas terlihat
sejak peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab sampai zaman para nabi dan kemudian jauh
hingga zaman Tuhan Yesus. Peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab jelas
memperlihatkan karya pembebasan Allah bagi Israel dari penindasan Mesir. Nubuat yang
disampaikan para nabi pun berbicara tentang pembebasan dari penindasan, seperti yang dicatat
dalam Yesaya 61:1-2. Teks ini pulalah yang dikutip oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 4:18-19
yang dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan Yesus pada ayat 21, “Pada hari ini genaplah nas ini
sewaktu kamu mendengarnya.”
Selanjutnya, dengan sedikit permainan kata Russell mengatakan bahwa Alkitab bukan
saja merupakan the liberating word tetapi juga harus menjadi the liberated word. Apa yang ia
maksud dengan the liberated word? The liberated word berarti Alkitab dibebaskan dari cara
pandang patriarkhal. Caranya adalah dengan membuang semua budaya patriarkhal yang telah
membelenggu teks-teks Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita.
Senada dengan pandangan di atas, menurut Ruether Alkitab harus dilihat sebagai tradisi
profetik-mesianis, yakni melihat Alkitab dari perspektif kritis, di mana tradisi biblikal harus
terus-menerus dievaluasi ulang dalam konteks yang baru. Yang ia maksud dengan evaluasi
ulang adalah melihat dan menilai Alkitab dengan paradigma pembebasan, dan konteksnya
tidak lain adalah pengalaman kaum wanita. Sedangkan yang dimaksud tradisi profetikmesianik
adalah, sebagaimana para nabi memberitakan penghakiman Allah, demikian juga
para feminis memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang selama ini telah berlangsung,
serta menuntut pertobatan dan adanya perubahan. Kaum feminis tidak hanya dipanggil untuk
memberitakan berita penghakiman (profetik), namun ada juga unsur mesianisnya, artinya ada
kabar “keselamatan” bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan. Masih menurut
Ruether, tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran atau norma untuk menilai teks-teks
Alkitab yang lain.37
Para feminis juga berpendapat bahwa teologi harus merupakan gabungan antara
pertanyaan budaya kontemporer dan jawabannya, di mana jawaban tersebut ditentukan oleh
latar belakang budaya kontemporer (budaya pada waktu pertanyaan tersebut dilontarkan).
Pada masa kini, situasi budaya ke mana tradisi Kristen itu harus dihubungkan adalah
bertumbuhnya kesadaran wanita atau pengalaman kaum wanita di gereja. Oleh karena itu,
pengalaman kaum wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer
yang serius. Pendeknya, menurut Ruether, pengalaman manusia harus menjadi starting point
dan ending point dalam berteologi.38

Dasar Alkitab
Bagian Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan diklaim
sebagai dasar teologi mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanity adalah
Galatia 3:2839 yang berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak
ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah
satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28 dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita
dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara
tentang kesederajatan adalah: Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5; Ulangan
24:1-4; 1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita dan pria memiliki status sosial yang
sama; Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14; Nehemia
6:14, adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam kehidupan
religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman; sedangkan dalam Kejadian 1:27
dikatakan bahwa wanita dan pria adalah makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah.
Berdasarkan penafsiran terhadap ayat-ayat di atas khususnya Galatia 3:28, para feminis
menyimpulkan bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan wanita
dalam komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
sama baik di gereja maupun dalam rumah tangga. Kesimpulan lain dari penafsiran ini ialah
bahwa tujuan panggilan Kristen adalah kemerdekaan.40
Selain itu, di dalam usaha menelaah sejarah kaum wanita di dalam Alkitab, teologteolog
feminis tidak hanya menemukan ide tentang kesederajatan pria dan wanita. Di dalam
Alkitab mereka ternyata menemukan bahwa Allah orang Kristen bukan Allah yang paternal;
dari sejumlah ayat yang terdapat di Alkitab mereka menemukan bukti-bukti yang mendukung
konsep Allah yang maternal. Itulah sebabnya sebagian teolog feminis menuntut agar Allah
tidak hanya disebut sebagai Bapa tetapi juga Ibu.41 Secara tajam mereka pun mengkritik
rumusan baptisan yang berbunyi: “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”42
Kesimpulan
Dari pandangan mereka terhadap Alkitab secara ringkas dapat dikatakan bahwa bagi
para feminis, esensi kekristenan adalah panggilan kenabian serta pembebasan bagi kaum
tertindas. Atas dasar inilah para feminis menuntut adanya suatu pembaharuan dalam teologi.
Menurut mereka, hingga awal abad ke-19 karya-karya teologis dan intelektual kebanyakan
dihasilkan dari perspektif nonfeminis; dunia teologi dan intelektual pada masa itu adalah dunia
kaum lelaki. Sudah tiba saatnya pengalaman kaum wanita menjadi pusat refleksi teologis dan
menjadi kunci menuju hermeneutik atau teori interpretasi.

2.2 Wanita karir
Di masa lampau, wanita terikat dengan nilai-nilai tradisional yang mengakar di masyarakat. Jika ada wanita berkarir untuk mengembangkan keahliannya di luar rumah, mereka dianggap telah melanggar tradisi sehingga dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan lingkungannya. Mereka kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri di tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kaum wanita dewasa ini cenderung berperan ganda, karena mereka telah mendapat kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri. Profesi sebagai ibu rumah tangga sudah bukan lagi satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh seorang wanita. Sudah tidak zamannya lagi jika seorang wanita hanya berkutat dengan urusan dapur, anak, suami, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika seorang wanita memiliki karir yang cemerlang.
Bagi wanita yang belum menikah, pergeseran paradigma ini mungkin tidak begitu memberikan pengaruh. Sebaliknya, pergeseran paradigma  ini jelas akan mempengaruhi wanita yang sudah berumah tangga. Dalam kesehariannya, ia dituntut untuk menjalankan peran sebagai seorang istri, ibu, dan sekaligus wanita karir. Dengan demikian, seorang wanita dituntut untuk bisa menjalankan semua peran dan tanggung jawabnya dengan baik. Apakah mungkin seorang wanita berkarir sekaligus menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik ? Memang terdapat banyak hambatan, tetapi kiranya jalan keluar selalu ada, tergantung pada wanita itu sendiri.
1.   Pengertian Wanita Karir
Wanita karir adalah wanita yang bekerja dengan tanggung jawab yang besar dan biasanya dalam kedudukan yang memungkinkan kenaikan ke jenjang pangkat atau jabatan yang lebih tinggi serta bekerja juga di luar jam-jam kerja biasa (Maramis, 1993).
Wanita yang bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan toko, sekretaris, dan yang melakukan pekerjaan ketrampilan tangan yang lain bukanlah wanita karir. Tanggung jawabnya tidak besar dan kenaikan jenjang kedudukan sangat terbatas.
Semua wanita ini adalah wanita bekerja (working woman), tetapi hanya sebagian adalah wanita karir. Namun apapun pekerjaan wanita itu, bila ia sudah menikah , bila ia bekerja bukan semata-mata untuk mengurus rumah tangga, maka akan ada dampak terhadap keluarganya, positif atau negatif, tergantung dari banyak hal.
2.    Peran Wanita dalam Keluarga
Peran dan pekerjaan wanita di dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari kodratnya sebagai manusia yang berjenis kelamin khusus, yaitu jenis kelamin yang memungkinkan bahkan mengharuskan ia terikat kuat pada fungsi sosial tertentu yaitu fungsi reproduksi.  Fungsi ini memerlukan waktu yang lama, mulai saat ovulasi dan pembuahan sampai anak itu dapat dilepas dari menyusuinya. Fungsi pria dalam hal reproduksi adalah sangat terbatas, ia hanya mendeposito benih untuk membuahi sel telur dan proses ini tidak memakan waktu lama.
Karena perbedaan fungsi dalam hal reproduksi ini, maka terjadi perbedaan juga dalam pembagian pekerjaan di bidang sosial ekonomi. Terjadi spesialisasi dan pembagian kerja dalam masyarakat yang  relatif ketat antara pria dan wanita, yaitu bahwa fungsi reproduksi yang sangat menyita waktu itu diserahkan sepenuhnya kepada wanita dan menjadi kewajibannya. Fungsi lain yang non reproduksi seperti mencari nafkah, menjaga keamanan, menjadi kewajiban pria.
Pembagian fungsi ini telah berlangsung sejak adanya manusia di dunia, selama kehidupan pra industrial. Wanita untuk pekerjaan domestik dan pria untuk pekerjaan publik. Dikotomi domestik-publik kemudian mulai kabur sejak manusia memasuki era industrialisasi. Dengan perubahan peran wanita, maka timbulah masalah baru yang berhubungan dengan perubahan nilai-nilai.
Di dalam masyarakat dan kehidupan industi, para anggota masyarakat harus sangat mobil dan terbuka bagi penemuan-penemuan baru. Maka menjadi sukar untuk mempertahankan kebersamaan keluarga besar seperti pada zaman pra industri. Keluarga kecil (suami, istri, dan anak) lebih mudah menyesuaikan diri terhadap keadaan.Terjadilah keluarga inti (nuclear family) sebagai ganti keluarga besar (extended family).
Setelah keluarga inti timbulah emansipasi wanita. Semula sebagai usaha kaum wanita untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan dunia yang berubah, akhirnya emansipasi menjadi ideologi, yaitu untuk membebaskan diri dari apa yang dianggap exploitasi kaum pria terhadap wanita dalam bidang ekonomi, sex, dan budaya.
Seiring dengan emansipasi dalam perkembangan pekerjaan dan karir wanita, dapat dilihat bahwa tingkat kesuburan menurun dengan akibat bahwa pekerjaan domestik berkurang. Dengan demikian, wanita dapat lebih banyak peluang lagi untuk terjun dalam bidang publik menjadi wanita bekerja maupun wanita karir.
3.    Masalah-masalah Wanita Karir
Diantara begitu banyak pengaruh dan masalah yang mungkin timbul bagi wanita bekerja ataupun wanita karir, dua hal yang sangat kuat pengaruhnya  adalah yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri dan yang berhubungan dengan keluarga.
a.   Pekerjaan
Terdapat lebih banyak pria daripada wanita yang lebih kuat berorientasi pada prestasi, promosi jabatan, dan kenaikan gaji. Sebaliknya lebih banyak wanita dari pada pria yang lebih kuat berorientasi pada keluarga serta teman-teman, dan mendahulukan relasi sosial dari pada tanggung jawab peekrjaan (Tavris, 1977). Tetapi ternyata bahwa bila wanita kedudukannya tinggi dalam pekerjaan tidaklah berbeda dengan pria dalam hal ambisi untuk prestasi dan promosi.
Sering diperlukan lebih banyak pekerja dan khusus karyawan wanita, tetapi biasanya mereka hanya menggantikan karyawan pria yang mendapatkan kesempatan untuk lebih maju. Sering juga wanita adalah yang paling akhir diterima dan paling pertama diberhentikan. Tidak jarang wanita diberi jenis pekerjaan yang membosankan sehingga ia kelihatan lebih berorientasi pada bicara dari pada kerja.
Pekerjaan mempengaruhi manusia lebih banyak daripada manusia mempengaruhi pekerjaan. Harga diri ditingkatkan oleh pekerjaan yang kompleks. Secara rata-rata wanita kurang kesempatan naik pangkat dibandingkan pria karena ditempatkan pada pekerjaan yang kurang kompleks.
Masalah lain bagi wanita karir adalah bahwa masih banyak orang, baik pria maupun wanita, yang tidak begitu senang bekerja di bawah seorang bos wanita. Padahal gaya kepemimpinan kurang tergantung pada jenis kelamin atau sifat kepribadian, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kekuasaan dan wewenang yang nyata.
b.   Keluarga
Makin banyak wanita yang melakukan pekerjaan publik, tetapi hanya sedikit  pria yang membantu pekerjaan domestik, karena pekerjaan domestik dianggap tidak jantan dan merupakan kewajiban wanita.
Perkawinan mempunyai efek negatif paling banyak adalah pada wanita yang hanya mempunyai satu cita-cita identitas saja yaitu untuk menjadi istri dan ibu. Bila hal ini tidak tercapai atau bila perkawinanya tidak memuaskan, maka ia akan sangat kecewa dan menderita seakan-akan hidup ini tidak berguna lagi.
Masalah lain dalam keluarga adalah siapa yang berkuasa atau mengambil keputusan terakhir ? Rupanya siapa yang memasukkan uang paling banyak, dialah yang paling menentukan. Tetapi yang paling tidak terlibat dalam perkawinan, diapun dapat lebih berkuasa karena setiap waktu ia  dapat mengancam untuk meningggalkan pasangannya.Ternyata lebih banyak wanita yang merasa kurang dicintai suami mereka daripada suami yang kurang dicintai istri mereka.
Konflik antara perkawinan dan pekerjaan lebih besar pada wanita daripada pria. Wanita karir harus dapat menampung tuntutan pekerjaan ke dalam kebutuhan keluarganya. Wanita karir mempunyai dua jenis pekerjaan, publik dan domestik, suami bekerja hanya mempunyai satu pekerjaan. Kedudukan yang tinggi dalam pekerjaan, menuntut pengabdian yang tinggi pula. Apakah wanita dapat memenuhi tuntutan itu ?
4.   Bagaimana menciptakan keseimbangan dalam konflik antara tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga, antara pekerjaan publik dan domestik ?
Menjadi ibu adalah sebuah kebahagiaan yang tak tergambarkan. Namun bagi seorang wanita karir, kadang-kadang hal ini menjadi sebuah dilema. Sebab, kebutuhan mengejar karir dan memberikan perhatian pada keluarga adalah dua hal yang kadang sering tidak bisa berjalan beriringan.
Yang paling baik adalah bila pandangan masyarakat berubah mengenai peranan  pria dan wanita dalam hal ini. Pria dan wanita harus berjuang bersama, bahu membahu, baik dalam pekerjaan publik mapun pekerjaan domestik. Pria harus bersedia meringankan pekerjaan rumah tangga istrinya dan menjaga anak juga. Sebaiknya tidak ada lagi perbedaan dalam rumah tangga tentang tugas wanita dan pria.
Untuk menciptakan keseimbangan itu, maka wanita karir dapat melakukan satu atau beberapa hal berikut ini :
  1. Melihat pada keuntungan bila ia bekerja dan tidak hanya pada kerugian bila ia menggabungkan karir dan keluarga.
  2. Memutuskan sejak sebelumnya, peran apa yang akan diutamakan bila terjadi konflik antara tuntutan pekerjaan dan keluarga.
  3. Kedua peran, domestik dan publik sebisa mungkin dipisahkan. Urusan keluarga dijauhkan dari pekerjaan.
  4. Melakukan kompromi antara tuntutan pekerjaan domestik dan publik dengan mengendalikan keterlibatannya dalam pekerjaan publik agar sesuai dengan kehidupan keluarga dan pekerjaan domestik.
Wanita karir harus berhati-hati jangan sampai melakukan kompensasi berlebihan. Ia mungkin akan menjadi “wanita besi” yang tidak disukai baik oleh kaum pria maupun kaum wanita.
Wanita karir yang baik secara sadar memperhatikan dan bila mungkin mengantisipasi pengaruh-pengaruh dan masalah-masalah psikologis yang mungkin akan dihadapinya.Dengan demikian ia akan lebih siap dan lebih mudah mengatasi hal-hal yang mungkin akan terjadi.
Wanita karir yang baik tetap mengunjungi sanak keluarganya secara teratur.Ia tidak mengejar prestasi melulu dan mengabaikan relasi, ataupun sebaliknya. Suami dan para anggota keluarga yang lain akan menghargai pekerjaannya serta memberikan bantuan moril kepadanya.
Untuk itu semua, komunikasi yang baik antara suami istri dan antara orang tua anak adalah hal yang paling penting. Sebuah studi tentang keluarga para dokter yang memang sudah sibuk dengan pekerjaannya dan istri juga sibuk bekerja, menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga mereka tidak tergantung pada pekerjaan mereka tetapi pada mutu komunikasi antara mereka.
Dampak Positif Dan Negatif Wanita Karir:
A. Dampak Positif
1. Terhadap Kondisi Ekonomi Keluarga
Dalam kehidupan manusia kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan primer yang dapat menunjang kebutuhan yang lainnya. Kesejahteraan manusia dapat tercipta manakala kehidupannya ditunjang dengan perekonomian yang baik pula.
Dengan berkarir, seorang wanita tentu saja mendapatkan imbalan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menambah dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pratiwi Sudamona mengatakan bahwa pria dan wanita adalah “Mitra Sejajar” dalam menunjang perekonomian keluarga. Dalam konteks pembicaraan keluarga yang modern, wanita tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang semata-mata tergantung pada penghasilan suaminya, melainkan ikut membantu berperan dalam meningkatkan penghasilan keluarga untuk satu pemenuhan kebutuhan keluarga yang semakin bervariasi.
2. Sebagai Pengisi Waktu
Pada zaman sekarang ini hampir semua peralatan rumah tangga memakai teknologi yang mutakhir, khususnya di kota-kota besar. Sehingga tugas wanita dalam rumah tangga menjadi lebih mudah dan ringan. Belum lagi mereka yang menggunakan jasa pramuwisma (pembantu rumah tangga), tentu saja tugas mereka di rumah akan menjadi sangat berkurang. Hal ini bisa menyebabkan wanita memiliki waktu luang yang sangat banyak dan seringkali membosankan. Maka untuk mengisi kekosongan tersebut diupayakanlah suatu kegiatan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka.
Diungkapkan oleh Abdullah Wakil bahwa kemudahan-kemudahan yang didapat wanita dalam melakukan tugas rumah tangga, telah menciptakan peluang bagi mereka untuk leluasa mencari kesibukan diluar rumah, sesuai dengan bidang keahliannya supaya dapat mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai wanita yang aktif berkarya.
3. Peningkatan Sumber Daya Manusia
Kemajuan teknologi di segala bidang kehidupan menuntut sumber daya manusia yang potensial untuk menjalankan teknologi tersebut. Bukan hanya pria bahka wanitapun dituntut untuk bisa dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang makin kian pesat.
Jenjang pendidikan yang tiada batas bagi wanita telah menjadikan mereka sebagai sumber daya potensial yang diharapkan dapat mampu berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan, serta dapat berguna bagi masyarakat, agama, nusa dan bangsanya.
4. Percaya Diri dan Lebih Merawat Penampilan
Biasanya seorang wanita yang tidak aktif di luar rumah akan malas untuk berhias diri, karena ia merasa tidak diperhatikan dan kurang bermanfaat. Dengan berkarir, maka wanita merasa dibutuhkan dalam masyarakat sehingga timbullah kepercayaan diri. Wanita karir akan berusaha untuk memercantik diri dan penampilannya agar selalu enak dipandang. Tentu hal ini akan menjadikan kebanggaan tersendiri bagi suaminya, yang melihat istrinya tampil prima di depan para relasinya.
B. Dampak Negatif
Diantara dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain:
1. Terhadap Anak
Seorang wanita karir biasanya pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di luar rumah, hal ini secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkat kesabaran yang dimilikinya, baik dalam menghadapi pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maupun dalam menghadapi anak-anaknya. Jika hal itu terjadi maka sang Ibu akan mudah marah dan berkurang rasa pedulinya terhadap anak. Survey yang dilakukan di negara-negara Barat menunjukkan bahwa banyak anak kecil yang menjadi korban kekerasan orangtua yang seharusnya tidak terjadi apabila mereka memiliki kesabaran yang cukup dalam mendidik anak.
Hal lain yang lebih berbahaya adalah terjerumusnya anak-anak kepada hal yang negatif, seperti tindak kriminal yang dilakukan sebagai akibat dari kurangnya kasih sayang yang diberikan orangtua, khususnya Ibu terhadap anak-anaknya.
2. Terhadap Suami
Di kalangan para suami wanita karir, tidaklah mustahil menjadi suatu kebanggaan bila mereka memiliki istri yang pandai, aktif, kreatif, dan maju serta dibutuhkan masyarakat, Namun dilain sisi mereka mempunyai problem yang rumit dengan istrinya. Mereka juga akan merasa tersaingi dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai suami. Sebagai contoh, apabila suatu saat seorang suami memiliki masalah di kantor, tentunya ia mengharapkan seseorang yang dapat berbagi masalah dengannya, atau setidaknya ia berharap istrinya akan menyambutnya dengan wajah berseri sehingga berkuranglah beban yang ada. Hal ini tak akan terwujud apabila sang istri pun mengalami hal yang sama. Jangankan untuk mengatasi masalah suaminya, sedangkan masalahnya sendiripun belum tentu dapat diselesaikannya. Apabila seorang istri tenggelam dalam karirnya, pulang sangat letih, sementara suaminya di kantor tengah menghadapi masalah dan ingin menemukan istri di dalam rumah dalam keadaan segar dan memancarkan senyuman kemesraan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah istri yang cemberut karena kelelahan. Ini akan menjadi masalah yang runyam dalam keluarga.
Kebanyakan suami yang istrinya berkarir merasa sedih dan sakit hati apabila istrinya yang berkarir tidak ada di tengah-tengah keluarganya pada saat keluarganya membutuhkan kehadiran mereka. Juga ada keresahan pada diri suami, khususnya pasangan-pasangan usia muda karena mereka selalu menunda kehamilan dan menolak untuk memiliki anak dengan alasan takut mengganggu karir yang tengah dirintis olehnya.
3. Terhadap Rumah Tangga
Kemungkinan negatif lainnya yang perlu mendapat perhatian dari wanita karir yaitu rumah tangga. Kegagalan rumah tangga seringkali dikaitkan dengan kelalaian seorang istri dalam rumah tangga. Hal ini bisa terjadi apabila istri tidak memiliki keterampilan dalam mengurus rumah tangga, atau juga terlalu sibuk dalam berkarir, sehingga segala urusan rumah tangga terbengkalai. Untuk mencapai keberhasilan karirnya, seringkali wanita menomorduakan tugas sebagai ibu dan istri. Dengan demikian pertengkaran bahkan perpecahan dalam rumah tangga tidak bisa dihindarkan lagi.
4. Terhadap Masyarakat
Hal negatif yang ditimbulkan oleh adanya wanita karir tidak hanya berdampak terhadap keluarga dan rumah tangga, tetapi juga terhadap masyarakat sekitarnya, seperti hal-hal berikut:
a. Dengan bertambahnya jumlah wanita yang mementingkan karirnya di berbagai sektor lapangan pekerjaan, secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran di kalangan pria, karena lapangan pekerjaan yagn ada telah diisi oleh wanita. Sebagai contoh, yang sering kita lihat di pabrik-pabrik. Perusahaan lebih memilih pekerja dari kalangan wanita ketimbang pria, karena selain upah yang relatif minim dan murah dari pria, juga karena wanita tidak terlalu banyak menuntut dan mudah diatur.
b. Kepercayaan diri yang berlebihan dari seorang wanita karir seringkali menyebabkan mereka terlalu memilih-milih dalam urusan perjodohan. Maka seringkali kita lihat seorang wanita karir masih hidup melajang pada usia yang seharusnya dia telah layak untuk berumah tangga bahkan memiliki keturunan. Selain itu banyak pria yang minder atau enggan untuk menjadikan wanita karir sebagai istri mereka karena beberapa faktor; Seperti pendidikan wanita karir dan penghasilannya yang seringkali membuat pria berpikir dua kali untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Sementara itu dilain sisi pria-pria yang menjadi dambaan para wanita karir ini -kemungkinan karena terlalu tinggi kriterianya- telah lebih dulu berkeluarga dan membina rumah tangga dengan wanita lain. Hal inilah mungkin yang menyebabkan timbulnya anggapan dalam masyarakat bahwa “Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dapat diraih oleh wanita maka semakin sulit pula baginya untuk mendapatkan pendamping hidup.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar