Bab 1
pendahuluan
1.1 teologi feminis
Teologi feminis adalah gerakan teologi yang bersama-sama
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal keadilan sosial bagi
perempuan. Teologi feminis
berusaha untuk melihat kekayaan dan keterbatasan dari Alkitab dan literatur
Kristen, serta berusaha untuk memberikan perubahan pemikiran, baik di Gereja
maupun dalam institusi akademis. Ide pokok dalam teologi feminis adalah
keberatan terhadap tradisi kekristenan tentang hubungan antara perempuan dengan
keilahian. Teolog-teolog feminis berpendapat bahwa perempuan dapat
menggambarkan Allah, baik secara penuh maupun terbatas, sama seperti Allah yang
digambarkan melalui laki-laki.
A.Latar Belakang Teologi
FeminiGerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.
Efesus 5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ";menaikkan derajat kaum perempuan"; tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul ´Vindication of the Right of Woman´ yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku "The Feminine Mystique"; yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama ´National Organization for Woman´ (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya ´Equal Pay Right´ (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan ´Equal Right Act´ (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah ´Student for a Democratic Society´ (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok ´feminisme radikal´ dengan membentuk ´Women´s Liberation Workshop´ yang lebih dikenal dengan singkatan ´Women´s Lib.´ Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya ´Miss America Pegeant´ di Atlantic City yang mereka anggap sebagai ´pelecehan terhadap kaum wanita´ dan ´komersialisasi tubuh perempuan.´ Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
1.2 Wanita karir
A.Latar Belakang Wanita
KarirKetika sosok wanita bekerja memasuki masa berumah tangga,segalanya jadi berbeda. Khusus bagi yang sedang berada di puncak karir,haruskah sesuatu yang telah dirintis sejak usia lajang dilepas begitu saja?Ah, keputusan yang sungguh sulit. Memang setiap orang punya pilihan danprinsip masing-masing untuk meraih kepuasan dalam karirnya. Ada yangmerasa masih banyak ambisi dan obsesi yang belum tercapai. Tetapi,haruskah juga keluarga menjadi prioritas kedua? Hal inilah yang kerap jadidilema dalam kehidupan pasangan suami-istri. Persoalannya tambah tidak sederhana ketika anak juga menuntut perhatian yang khusus dari sang ibu.Bagaimana agar segala keputusan yang diambil dapat menyenangkansemua pihak dalam keluargaPeran seorang wanita ketika memasuki jenjang perkawinan tampak menjadi begitu kompleks ketika berbagai kepentingan saling berbenturan.Saat seorang wanita dituntut menjadi ibu yang bertanggungjawab ataskeberadaan anak dan tetap utuhnya rumah tangga, disamping keinginanmeraih kemajuan dari balik dunia kerja, membuat banyak wanitaterperangkap pada dilema. Harus memilih salah satu - keluarga atau karir.
Bab
2
Pembahasan
2.1 teologi feminis
Pandangan Terhadap Alkitab
Kalau
kita berbicara mengenai teologi seseorang atau sekelompok orang maka salah
satu
pertanyaan yang penting dan perlu diajukan adalah bagaimana pandangan orang
atau
kelompok
orang tersebut terhadap Alkitab? Apakah Alkitab diterima sebagai firman Allah
yang
berotoritas? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menunjukkan
corak
teologi
yang dianut seseorang atau sekelompok orang tersebut. Pandangan Fiorenza
mengenai
Alkitab
diungkapkan dalam kalimat berikut:
A feminist hermeneutics cannot trust or accept Bible and
tradition simply as divine
revelation. Rather it must critically evaluate them as
patriarchal articulations, since
even in the last century Sarah Grimké, Matilda Joslyn Gage, and
Elizabeth Cady
Stanton had recognized that biblical texts are not the words of
God but the words of
men.28
Selanjutnya
ia mengatakan: “Feminist interpretation therefore begins
with a hermeneutics of
suspicion that applies to both contemporary androcentric
interpretations of the Bible and the
biblical texts themselves.”29 Sedangkan Ruether mengalimatkan demikian: “The Bible was
shaped by males in a patriarchal culture, so much of its
revelatory experiences were
interpreted by men from a patriarchal perspective.”30 Secara
ringkas yang ingin disampaikan
oleh
kedua tokoh ini adalah, Alkitab tidak boleh diterima mentah-mentah sebagai
firman Allah
karena
banyak unsur manusianya (baca: pria) di dalamnya.
Jika
ditanya mengenai inspirasi Alkitab maka para feminis akan segera menjawab
bahwa
mereka percaya inspirasi. Tetapi jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa itu
artinya
mereka
masih berada di jalur iman Kristen yang ortodoks. Simak pernyataan Russell
berikut:
inspiration means that everything we read is right.”31 Menurut
Russell, inspirasi ilahi Alkitab
berarti
bahwa Roh Allah memiliki kuasa untuk membuat kisah Alkitab berbicara kepada
kita
dari
iman menuju kepada iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah apabila
komunitas iman
memahami
Allah berbicara kepada mereka di dalam dan melalui berita Alkitab.32
Pandangan
“miring” tersebut tidak aneh karena kelompok feminis yang menyebut diri
evangelikal
pun memiliki keyakinan serupa:
. . . the conviction that the Spirit of God is the ultimate
author of all Scripture.
The
Christian church, therefore, has rightly understood the phrase
“the inspiration of
Scripture” to indicate that in and through the words employed by
the biblical writers
God has given his word to mankind.33
Menurut
kelompok ini, Alkitab diinspirasikan oleh Allah dalam pengertian bahwa di dalam
dan melalui kata-kata yang
digunakan oleh penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya.
Allah
memakai manusia yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah
sempurna
tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi
ketidaksesuaian
antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan oleh para
penulis
Alkitab. Atau dengan kata lain, Alkitab bersifat falibel serta tunduk pada
keterbatasan
manusia
dalam menuangkan maksud Allah dalam kata-kata.
Hal
serupa diungkapkan oleh Russell ketika ia berbicara tentang otoritas Alkitab.
Alkitab
berotoritas dalam kehidupannya karena Alkitab memahami pengalamannya dan
berbicara
kepadanya tentang makna dan tujuan kemanusiaannya di dalam Yesus Kristus.
Sehingga,
meskipun Alkitab ditulis dari sudut pandang patriarkhal, dan juga terdapat
ketidakkonsistenan
atau kontradiksi, tetap saja Alkitab berotoritas dalam kehidupannya karena
kisah
Alkitab membawanya kepada satu visi tentang ciptaan baru.34 Kalau boleh saya
simpulkan,
otoritas Alkitab menurut Russell adalah otoritas yang pragmatis, tidak penting
apakah
Alkitab bisa salah atau tidak, yang penting baginya adalah Alkitab itu memiliki
kebergunaan
dalam kehidupannya.
Bertitik
tolak dari sini teolog feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki
pandangan
yang konsisten tentang wanita. Hal ini terjadi karena Alkitab dibentuk oleh
kaum
pria
dari budaya patriarkhal sehingga banyak pengalaman wahyunya diinterpretasi dan
ditulis
dari
perspektif patriarkhal.35 Itu
sebabnya mengapa Paulus kadang-kadang menempatkan
wanita
dalam posisi lebih rendah daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya.
Jadi,
ketika
kita membaca Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab
ditulis.
Jadi, untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur
budaya
ketika melakukan interpretasi.36
Metode Teologi
Dengan
pandangan yang cukup negatif tentang Alkitab seperti yang diuraikan di atas,
timbul
pertanyaan: berita positif apa yang terdapat dalam Alkitab bagi para feminis?
Menurut
Russell,
Alkitab adalah firman yang memerdekakan (liberating
word). Hal ini jelas terlihat
sejak
peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab sampai zaman para nabi dan
kemudian jauh
hingga
zaman Tuhan Yesus. Peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab jelas
memperlihatkan
karya pembebasan Allah bagi Israel dari penindasan Mesir. Nubuat yang
disampaikan
para nabi pun berbicara tentang pembebasan dari penindasan, seperti yang
dicatat
dalam
Yesaya 61:1-2. Teks ini pulalah yang dikutip oleh Tuhan Yesus dalam Lukas
4:18-19
yang
dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan Yesus pada ayat 21, “Pada hari ini genaplah
nas ini
sewaktu
kamu mendengarnya.”
Selanjutnya,
dengan sedikit permainan kata Russell mengatakan bahwa Alkitab bukan
saja
merupakan the liberating word tetapi juga harus menjadi the
liberated word. Apa yang ia
maksud
dengan the liberated word? The liberated word berarti Alkitab dibebaskan dari cara
pandang
patriarkhal. Caranya adalah dengan membuang semua budaya patriarkhal yang telah
membelenggu
teks-teks Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita.
Senada
dengan pandangan di atas, menurut Ruether Alkitab harus dilihat sebagai tradisi
profetik-mesianis,
yakni melihat Alkitab dari perspektif kritis, di mana tradisi biblikal harus
terus-menerus
dievaluasi ulang dalam konteks yang baru. Yang ia maksud dengan evaluasi
ulang
adalah melihat dan menilai Alkitab dengan paradigma pembebasan, dan konteksnya
tidak
lain adalah pengalaman kaum wanita. Sedangkan yang dimaksud tradisi
profetikmesianik
adalah,
sebagaimana para nabi memberitakan penghakiman Allah, demikian juga
para
feminis memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang selama ini telah
berlangsung,
serta
menuntut pertobatan dan adanya perubahan. Kaum feminis tidak hanya dipanggil
untuk
memberitakan
berita penghakiman (profetik), namun ada juga unsur mesianisnya, artinya ada
kabar
“keselamatan” bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan. Masih
menurut
Ruether,
tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran atau norma untuk menilai teks-teks
Alkitab
yang lain.37
Para
feminis juga berpendapat bahwa teologi harus merupakan gabungan antara
pertanyaan
budaya kontemporer dan jawabannya, di mana jawaban tersebut ditentukan oleh
latar
belakang budaya kontemporer (budaya pada waktu pertanyaan tersebut
dilontarkan).
Pada
masa kini, situasi budaya ke mana tradisi Kristen itu harus dihubungkan adalah
bertumbuhnya
kesadaran wanita atau pengalaman kaum wanita di gereja. Oleh karena itu,
pengalaman
kaum wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer
yang
serius. Pendeknya, menurut Ruether, pengalaman manusia harus menjadi starting point
dan ending point dalam berteologi.38
Dasar Alkitab
Bagian
Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan diklaim
sebagai
dasar teologi mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanity adalah
Galatia
3:2839 yang
berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak
ada
hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua
adalah
satu
di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28 dipandang sebagai ayat yang membebaskan
wanita
dari
penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga
berbicara
tentang
kesederajatan adalah: Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5;
Ulangan
24:1-4;
1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita dan pria memiliki status sosial yang
sama;
Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14;
Nehemia
6:14,
adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam
kehidupan
religius
dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman; sedangkan dalam Kejadian
1:27
dikatakan
bahwa wanita dan pria adalah makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar
dan
rupa Allah.
Berdasarkan
penafsiran terhadap ayat-ayat di atas khususnya Galatia 3:28, para feminis
menyimpulkan
bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan wanita
dalam
komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang
sama
baik di gereja maupun dalam rumah tangga. Kesimpulan lain dari penafsiran ini
ialah
bahwa
tujuan panggilan Kristen adalah kemerdekaan.40
Selain
itu, di dalam usaha menelaah sejarah kaum wanita di dalam Alkitab, teologteolog
feminis
tidak hanya menemukan ide tentang kesederajatan pria dan wanita. Di dalam
Alkitab
mereka ternyata menemukan bahwa Allah orang Kristen bukan Allah yang paternal;
dari
sejumlah ayat yang terdapat di Alkitab mereka menemukan bukti-bukti yang
mendukung
konsep
Allah yang maternal. Itulah sebabnya sebagian teolog feminis menuntut agar
Allah
tidak
hanya disebut sebagai Bapa tetapi juga Ibu.41 Secara tajam mereka pun mengkritik
rumusan
baptisan yang berbunyi: “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”42
Kesimpulan
Dari
pandangan mereka terhadap Alkitab secara ringkas dapat dikatakan bahwa bagi
para
feminis, esensi kekristenan adalah panggilan kenabian serta pembebasan bagi
kaum
tertindas.
Atas dasar inilah para feminis menuntut adanya suatu pembaharuan dalam teologi.
Menurut
mereka, hingga awal abad ke-19 karya-karya teologis dan intelektual kebanyakan
dihasilkan
dari perspektif nonfeminis; dunia teologi dan intelektual pada masa itu adalah
dunia
kaum
lelaki. Sudah tiba saatnya pengalaman kaum wanita menjadi pusat refleksi
teologis dan
menjadi
kunci menuju hermeneutik atau teori interpretasi.
2.2 Wanita karir
Di masa lampau, wanita terikat
dengan nilai-nilai tradisional yang mengakar di masyarakat. Jika ada wanita
berkarir untuk mengembangkan keahliannya di luar rumah, mereka dianggap telah
melanggar tradisi sehingga dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan
lingkungannya. Mereka kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri di
tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan zaman,
kaum wanita dewasa ini cenderung berperan ganda, karena mereka telah mendapat
kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri. Profesi sebagai ibu rumah tangga
sudah bukan lagi satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh seorang wanita.
Sudah tidak zamannya lagi jika seorang wanita hanya berkutat dengan urusan
dapur, anak, suami, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sudah menjadi hal yang
biasa jika seorang wanita memiliki karir yang cemerlang.
Bagi wanita yang belum menikah,
pergeseran paradigma ini mungkin tidak begitu memberikan pengaruh. Sebaliknya,
pergeseran paradigma ini jelas akan mempengaruhi wanita yang sudah
berumah tangga. Dalam kesehariannya, ia dituntut untuk menjalankan peran
sebagai seorang istri, ibu, dan sekaligus wanita karir. Dengan demikian,
seorang wanita dituntut untuk bisa menjalankan semua peran dan tanggung
jawabnya dengan baik. Apakah mungkin seorang wanita berkarir sekaligus menjadi
istri dan ibu rumah tangga yang baik ? Memang terdapat banyak hambatan, tetapi
kiranya jalan keluar selalu ada, tergantung pada wanita itu sendiri.
1. Pengertian Wanita
Karir
Wanita karir adalah wanita yang
bekerja dengan tanggung jawab yang besar dan biasanya dalam kedudukan yang
memungkinkan kenaikan ke jenjang pangkat atau jabatan yang lebih tinggi serta
bekerja juga di luar jam-jam kerja biasa (Maramis, 1993).
Wanita yang bekerja sebagai buruh
pabrik, pelayan toko, sekretaris, dan yang melakukan pekerjaan ketrampilan
tangan yang lain bukanlah wanita karir. Tanggung jawabnya tidak besar dan
kenaikan jenjang kedudukan sangat terbatas.
Semua wanita ini adalah wanita
bekerja (working woman), tetapi hanya sebagian adalah wanita karir.
Namun apapun pekerjaan wanita itu, bila ia sudah menikah , bila ia bekerja
bukan semata-mata untuk mengurus rumah tangga, maka akan ada dampak terhadap
keluarganya, positif atau negatif, tergantung dari banyak hal.
2. Peran Wanita
dalam Keluarga
Peran dan pekerjaan wanita di dalam
masyarakat tidak dapat terlepas dari kodratnya sebagai manusia yang berjenis
kelamin khusus, yaitu jenis kelamin yang memungkinkan bahkan mengharuskan ia
terikat kuat pada fungsi sosial tertentu yaitu fungsi reproduksi. Fungsi
ini memerlukan waktu yang lama, mulai saat ovulasi dan pembuahan sampai anak
itu dapat dilepas dari menyusuinya. Fungsi pria dalam hal reproduksi adalah
sangat terbatas, ia hanya mendeposito benih untuk membuahi sel telur dan proses
ini tidak memakan waktu lama.
Karena perbedaan fungsi dalam hal
reproduksi ini, maka terjadi perbedaan juga dalam pembagian pekerjaan di bidang
sosial ekonomi. Terjadi spesialisasi dan pembagian kerja dalam masyarakat yang
relatif ketat antara pria dan wanita, yaitu bahwa fungsi reproduksi yang
sangat menyita waktu itu diserahkan sepenuhnya kepada wanita dan menjadi
kewajibannya. Fungsi lain yang non reproduksi seperti mencari nafkah, menjaga
keamanan, menjadi kewajiban pria.
Pembagian fungsi ini telah
berlangsung sejak adanya manusia di dunia, selama kehidupan pra industrial.
Wanita untuk pekerjaan domestik dan pria untuk pekerjaan publik. Dikotomi
domestik-publik kemudian mulai kabur sejak manusia memasuki era
industrialisasi. Dengan perubahan peran wanita, maka timbulah masalah baru yang
berhubungan dengan perubahan nilai-nilai.
Di dalam masyarakat dan kehidupan
industi, para anggota masyarakat harus sangat mobil dan terbuka bagi
penemuan-penemuan baru. Maka menjadi sukar untuk mempertahankan kebersamaan
keluarga besar seperti pada zaman pra industri. Keluarga kecil (suami, istri,
dan anak) lebih mudah menyesuaikan diri terhadap keadaan.Terjadilah keluarga
inti (nuclear family) sebagai ganti keluarga besar (extended family).
Setelah keluarga inti timbulah
emansipasi wanita. Semula sebagai usaha kaum wanita untuk menyesuaikan diri
terhadap keadaan dunia yang berubah, akhirnya emansipasi menjadi ideologi,
yaitu untuk membebaskan diri dari apa yang dianggap exploitasi kaum pria
terhadap wanita dalam bidang ekonomi, sex, dan budaya.
Seiring dengan emansipasi dalam
perkembangan pekerjaan dan karir wanita, dapat dilihat bahwa tingkat kesuburan
menurun dengan akibat bahwa pekerjaan domestik berkurang. Dengan demikian,
wanita dapat lebih banyak peluang lagi untuk terjun dalam bidang publik menjadi
wanita bekerja maupun wanita karir.
3. Masalah-masalah
Wanita Karir
Diantara begitu banyak pengaruh dan
masalah yang mungkin timbul bagi wanita bekerja ataupun wanita karir, dua hal
yang sangat kuat pengaruhnya adalah yang berhubungan dengan pekerjaan itu
sendiri dan yang berhubungan dengan keluarga.
a. Pekerjaan
Terdapat lebih banyak pria daripada
wanita yang lebih kuat berorientasi pada prestasi, promosi jabatan, dan
kenaikan gaji. Sebaliknya lebih banyak wanita dari pada pria yang lebih kuat
berorientasi pada keluarga serta teman-teman, dan mendahulukan relasi sosial
dari pada tanggung jawab peekrjaan (Tavris, 1977). Tetapi ternyata bahwa bila
wanita kedudukannya tinggi dalam pekerjaan tidaklah berbeda dengan pria dalam
hal ambisi untuk prestasi dan promosi.
Sering diperlukan lebih banyak
pekerja dan khusus karyawan wanita, tetapi biasanya mereka hanya menggantikan
karyawan pria yang mendapatkan kesempatan untuk lebih maju. Sering juga wanita
adalah yang paling akhir diterima dan paling pertama diberhentikan. Tidak
jarang wanita diberi jenis pekerjaan yang membosankan sehingga ia kelihatan
lebih berorientasi pada bicara dari pada kerja.
Pekerjaan mempengaruhi manusia lebih
banyak daripada manusia mempengaruhi pekerjaan. Harga diri ditingkatkan oleh
pekerjaan yang kompleks. Secara rata-rata wanita kurang kesempatan naik pangkat
dibandingkan pria karena ditempatkan pada pekerjaan yang kurang kompleks.
Masalah lain bagi wanita karir
adalah bahwa masih banyak orang, baik pria maupun wanita, yang tidak begitu
senang bekerja di bawah seorang bos wanita. Padahal gaya kepemimpinan kurang
tergantung pada jenis kelamin atau sifat kepribadian, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh kekuasaan dan wewenang yang nyata.
b. Keluarga
Makin banyak wanita yang melakukan
pekerjaan publik, tetapi hanya sedikit pria yang membantu pekerjaan
domestik, karena pekerjaan domestik dianggap tidak jantan dan merupakan
kewajiban wanita.
Perkawinan mempunyai efek negatif
paling banyak adalah pada wanita yang hanya mempunyai satu cita-cita identitas
saja yaitu untuk menjadi istri dan ibu. Bila hal ini tidak tercapai atau bila
perkawinanya tidak memuaskan, maka ia akan sangat kecewa dan menderita
seakan-akan hidup ini tidak berguna lagi.
Masalah lain dalam keluarga adalah
siapa yang berkuasa atau mengambil keputusan terakhir ? Rupanya siapa yang
memasukkan uang paling banyak, dialah yang paling menentukan. Tetapi yang
paling tidak terlibat dalam perkawinan, diapun dapat lebih berkuasa karena
setiap waktu ia dapat mengancam untuk meningggalkan pasangannya.Ternyata
lebih banyak wanita yang merasa kurang dicintai suami mereka daripada suami
yang kurang dicintai istri mereka.
Konflik antara perkawinan dan
pekerjaan lebih besar pada wanita daripada pria. Wanita karir harus dapat
menampung tuntutan pekerjaan ke dalam kebutuhan keluarganya. Wanita karir
mempunyai dua jenis pekerjaan, publik dan domestik, suami bekerja hanya
mempunyai satu pekerjaan. Kedudukan yang tinggi dalam pekerjaan, menuntut
pengabdian yang tinggi pula. Apakah wanita dapat memenuhi tuntutan itu ?
4. Bagaimana menciptakan
keseimbangan dalam konflik antara tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga,
antara pekerjaan publik dan domestik
?
Menjadi ibu adalah sebuah
kebahagiaan yang tak tergambarkan. Namun bagi seorang wanita karir,
kadang-kadang hal ini menjadi sebuah dilema. Sebab, kebutuhan mengejar karir
dan memberikan perhatian pada keluarga adalah dua hal yang kadang sering tidak
bisa berjalan beriringan.
Yang paling baik adalah bila
pandangan masyarakat berubah mengenai peranan pria dan wanita dalam hal
ini. Pria dan wanita harus berjuang bersama, bahu membahu, baik dalam pekerjaan
publik mapun pekerjaan domestik. Pria harus bersedia meringankan pekerjaan
rumah tangga istrinya dan menjaga anak juga. Sebaiknya tidak ada lagi perbedaan
dalam rumah tangga tentang tugas wanita dan pria.
Untuk menciptakan keseimbangan itu,
maka wanita karir dapat melakukan satu atau beberapa hal berikut ini :
- Melihat pada keuntungan bila ia bekerja dan tidak hanya pada kerugian bila ia menggabungkan karir dan keluarga.
- Memutuskan sejak sebelumnya, peran apa yang akan diutamakan bila terjadi konflik antara tuntutan pekerjaan dan keluarga.
- Kedua peran, domestik dan publik sebisa mungkin dipisahkan. Urusan keluarga dijauhkan dari pekerjaan.
- Melakukan kompromi antara tuntutan pekerjaan domestik dan publik dengan mengendalikan keterlibatannya dalam pekerjaan publik agar sesuai dengan kehidupan keluarga dan pekerjaan domestik.
Wanita karir harus berhati-hati
jangan sampai melakukan kompensasi berlebihan. Ia mungkin akan menjadi “wanita
besi” yang tidak disukai baik oleh kaum pria maupun kaum wanita.
Wanita karir yang baik secara sadar
memperhatikan dan bila mungkin mengantisipasi pengaruh-pengaruh dan
masalah-masalah psikologis yang mungkin akan dihadapinya.Dengan demikian ia
akan lebih siap dan lebih mudah mengatasi hal-hal yang mungkin akan terjadi.
Wanita karir yang baik tetap
mengunjungi sanak keluarganya secara teratur.Ia tidak mengejar prestasi melulu
dan mengabaikan relasi, ataupun sebaliknya. Suami dan para anggota keluarga
yang lain akan menghargai pekerjaannya serta memberikan bantuan moril kepadanya.
Untuk itu semua, komunikasi yang
baik antara suami istri dan antara orang tua anak adalah hal yang paling
penting. Sebuah studi tentang keluarga para dokter yang memang sudah sibuk
dengan pekerjaannya dan istri juga sibuk bekerja, menunjukkan bahwa
keharmonisan keluarga mereka tidak tergantung pada pekerjaan mereka tetapi pada
mutu komunikasi antara mereka.
Dampak Positif Dan Negatif Wanita Karir:
A.
Dampak Positif
1.
Terhadap Kondisi Ekonomi Keluarga
Dalam
kehidupan manusia kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan primer yang dapat
menunjang kebutuhan yang lainnya. Kesejahteraan manusia dapat tercipta manakala
kehidupannya ditunjang dengan perekonomian yang baik pula.
Dengan
berkarir, seorang wanita tentu saja mendapatkan imbalan yang kemudian dapat dimanfaatkan
untuk menambah dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pratiwi
Sudamona mengatakan bahwa pria dan wanita adalah “Mitra Sejajar” dalam
menunjang perekonomian keluarga. Dalam konteks pembicaraan keluarga yang
modern, wanita tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang semata-mata tergantung
pada penghasilan suaminya, melainkan ikut membantu berperan dalam meningkatkan
penghasilan keluarga untuk satu pemenuhan kebutuhan keluarga yang semakin
bervariasi.
2. Sebagai
Pengisi Waktu
Pada zaman
sekarang ini hampir semua peralatan rumah tangga memakai teknologi yang
mutakhir, khususnya di kota-kota besar. Sehingga tugas wanita dalam rumah
tangga menjadi lebih mudah dan ringan. Belum lagi mereka yang menggunakan jasa
pramuwisma (pembantu rumah tangga), tentu saja tugas mereka di rumah akan
menjadi sangat berkurang. Hal ini bisa menyebabkan wanita memiliki waktu luang
yang sangat banyak dan seringkali membosankan. Maka untuk mengisi kekosongan
tersebut diupayakanlah suatu kegiatan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka.
Diungkapkan
oleh Abdullah Wakil bahwa kemudahan-kemudahan yang didapat wanita dalam
melakukan tugas rumah tangga, telah menciptakan peluang bagi mereka untuk
leluasa mencari kesibukan diluar rumah, sesuai dengan bidang keahliannya supaya
dapat mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai wanita
yang aktif berkarya.
3.
Peningkatan Sumber Daya Manusia
Kemajuan
teknologi di segala bidang kehidupan menuntut sumber daya manusia yang potensial
untuk menjalankan teknologi tersebut. Bukan hanya pria bahka wanitapun dituntut
untuk bisa dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang makin kian pesat.
Jenjang
pendidikan yang tiada batas bagi wanita telah menjadikan mereka sebagai sumber
daya potensial yang diharapkan dapat mampu berpartisipasi dan berperan aktif
dalam pembangunan, serta dapat berguna bagi masyarakat, agama, nusa dan
bangsanya.
4. Percaya
Diri dan Lebih Merawat Penampilan
Biasanya
seorang wanita yang tidak aktif di luar rumah akan malas untuk berhias diri,
karena ia merasa tidak diperhatikan dan kurang bermanfaat. Dengan berkarir,
maka wanita merasa dibutuhkan dalam masyarakat sehingga timbullah kepercayaan
diri. Wanita karir akan berusaha untuk memercantik diri dan penampilannya agar
selalu enak dipandang. Tentu hal ini akan menjadikan kebanggaan tersendiri bagi
suaminya, yang melihat istrinya tampil prima di depan para relasinya.
B.
Dampak Negatif
Diantara
dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain:
1.
Terhadap Anak
Seorang
wanita karir biasanya pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah seharian
bekerja di luar rumah, hal ini secara psikologis akan berpengaruh terhadap
tingkat kesabaran yang dimilikinya, baik dalam menghadapi pekerjaan rumah
tangga sehari-hari, maupun dalam menghadapi anak-anaknya. Jika hal itu terjadi
maka sang Ibu akan mudah marah dan berkurang rasa pedulinya terhadap anak.
Survey yang dilakukan di negara-negara Barat menunjukkan bahwa banyak anak
kecil yang menjadi korban kekerasan orangtua yang seharusnya tidak terjadi
apabila mereka memiliki kesabaran yang cukup dalam mendidik anak.
Hal lain
yang lebih berbahaya adalah terjerumusnya anak-anak kepada hal yang negatif,
seperti tindak kriminal yang dilakukan sebagai akibat dari kurangnya kasih
sayang yang diberikan orangtua, khususnya Ibu terhadap anak-anaknya.
2.
Terhadap Suami
Di
kalangan para suami wanita karir, tidaklah mustahil menjadi suatu kebanggaan
bila mereka memiliki istri yang pandai, aktif, kreatif, dan maju serta
dibutuhkan masyarakat, Namun dilain sisi mereka mempunyai problem yang rumit
dengan istrinya. Mereka juga akan merasa tersaingi dan tidak terpenuhi
hak-haknya sebagai suami. Sebagai contoh, apabila suatu saat seorang suami
memiliki masalah di kantor, tentunya ia mengharapkan seseorang yang dapat
berbagi masalah dengannya, atau setidaknya ia berharap istrinya akan
menyambutnya dengan wajah berseri sehingga berkuranglah beban yang ada. Hal ini
tak akan terwujud apabila sang istri pun mengalami hal yang sama. Jangankan
untuk mengatasi masalah suaminya, sedangkan masalahnya sendiripun belum tentu
dapat diselesaikannya. Apabila seorang istri tenggelam dalam karirnya, pulang
sangat letih, sementara suaminya di kantor tengah menghadapi masalah dan ingin
menemukan istri di dalam rumah dalam keadaan segar dan memancarkan senyuman
kemesraan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah istri yang cemberut karena
kelelahan. Ini akan menjadi masalah yang runyam dalam keluarga.
Kebanyakan
suami yang istrinya berkarir merasa sedih dan sakit hati apabila istrinya yang berkarir
tidak ada di tengah-tengah keluarganya pada saat keluarganya membutuhkan
kehadiran mereka. Juga ada keresahan pada diri suami, khususnya
pasangan-pasangan usia muda karena mereka selalu menunda kehamilan dan menolak
untuk memiliki anak dengan alasan takut mengganggu karir yang tengah dirintis
olehnya.
3.
Terhadap Rumah Tangga
Kemungkinan
negatif lainnya yang perlu mendapat perhatian dari wanita karir yaitu rumah
tangga. Kegagalan rumah tangga seringkali dikaitkan dengan kelalaian seorang
istri dalam rumah tangga. Hal ini bisa terjadi apabila istri tidak memiliki
keterampilan dalam mengurus rumah tangga, atau juga terlalu sibuk dalam
berkarir, sehingga segala urusan rumah tangga terbengkalai. Untuk mencapai
keberhasilan karirnya, seringkali wanita menomorduakan tugas sebagai ibu dan
istri. Dengan demikian pertengkaran bahkan perpecahan dalam rumah tangga tidak
bisa dihindarkan lagi.
4.
Terhadap Masyarakat
Hal
negatif yang ditimbulkan oleh adanya wanita karir tidak hanya berdampak
terhadap keluarga dan rumah tangga, tetapi juga terhadap masyarakat sekitarnya,
seperti hal-hal berikut:
a. Dengan
bertambahnya jumlah wanita yang mementingkan karirnya di berbagai sektor
lapangan pekerjaan, secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan
meningkatnya jumlah pengangguran di kalangan pria, karena lapangan pekerjaan
yagn ada telah diisi oleh wanita. Sebagai contoh, yang sering kita lihat di
pabrik-pabrik. Perusahaan lebih memilih pekerja dari kalangan wanita ketimbang
pria, karena selain upah yang relatif minim dan murah dari pria, juga karena
wanita tidak terlalu banyak menuntut dan mudah diatur.
b.
Kepercayaan diri yang berlebihan dari seorang wanita karir seringkali
menyebabkan mereka terlalu memilih-milih dalam urusan perjodohan. Maka
seringkali kita lihat seorang wanita karir masih hidup melajang pada usia yang
seharusnya dia telah layak untuk berumah tangga bahkan memiliki keturunan.
Selain itu banyak pria yang minder atau enggan untuk menjadikan wanita karir
sebagai istri mereka karena beberapa faktor; Seperti pendidikan wanita karir
dan penghasilannya yang seringkali membuat pria berpikir dua kali untuk
menjadikannya sebagai pendamping hidup. Sementara itu dilain sisi pria-pria
yang menjadi dambaan para wanita karir ini -kemungkinan karena terlalu tinggi
kriterianya- telah lebih dulu berkeluarga dan membina rumah tangga dengan
wanita lain. Hal inilah mungkin yang menyebabkan timbulnya anggapan dalam
masyarakat bahwa “Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dapat diraih oleh
wanita maka semakin sulit pula baginya untuk mendapatkan pendamping hidup.”